Kerajaan Salakanagara ( 130 - 358 ) | |
---|---|
Peta Wilayah Kerajaan Salakanagara | |
Ibukota | Rajatapura ( 130 - 358 ) |
Bahasa | Sunda Kuno, Sanskerta |
Agama | Hindu, Sunda Wiwitan |
Bentuk Pemerintahan | Kerajaan |
Peristiwa Penting | - 130 M, Didirikan oleh Senapati Dewawarman. - Krodamaruta berhasil menguasai tahta Salakanagara selama 3 bulan. - 346 M, Keluarga Lengkaradewi dari Pallawa Mengungsi Ke Rajatapura. - 358 M, Status Salakanagara berubah menjadi Bawahan Kerajaan Taruma. |
Mata Uang | Emas dan Perak |
Di Dahului Oleh | Di Gantikan Oleh |
- Belum diketahui | Kerajaan Taruma |
Sejarah berdirinya kerajaan Salakanagara
Raja dari Kerajaan Pallawa mengutus Senapati Dewawarman ke kerajaan-kerajaan di Ujung Mendini, Bumi Sopala, Yawana, Syangka, China, Abasid, dan Jawadwipa dengan tujuan untuk meningkatkan hubungan kerja sama baik di bidang ekonomi dan pertahanan.
Kedatangan Beliau di Jawadwipa disambut baik oleh penguasa setempat. Penguasa tersebut bernama Aki Tirem atau Sang Aki Luhur Mulya. Bahkan, Beliau juga di nikahkan dengan putrinya yang bernama Dewi Pohaci Larasati. Sejak itulah, seluruh anggota pasukan Dewawarman menikah dengan wanita pribumi dan menetap di Pulau Jawa.
Setelah Aki Tirem wafat, pada tahun 130 M Dewawarman mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara. Ibukotanya berada di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Sedangkan isterinya, Pohaci Larasati menjadi permaisuri, dengan gelar Dewi Dwanu Rahayu.
Daerah kekuasaan Salakanagara, meliputi wilayah Nusa Mandala (mungkin Pulau Panaitan), Nusa Api (Krakatau), pesisir Sumatera selatan, Agrabhintapura, dan Hujung Kulon.
Kerajaan Agrabhintapura, dipimpin oleh raja daerah bernama Sweta Limansakti, adik Dewawarman. Sedangkan adiknya yang lain, bernama Senapati Bahadura Harigana Jayasakti, diangkat menjadi raja daerah di Hujung Kulon.
Raja - Raja Salakanagara
Dari perkawinannya dengan Pohaci Larasati, Dewawarman I mempunyai beberapa orang anak. Anak yang tertua, laki-laki. Kelak, ia menggantikan kedudukan ayahnva sebagai penguasa di Salakanagara, dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. la menjadi Dewawarman lI yang memerintah dari tahun 168 - 195 M. la menikah dengan putri keluarga Raja Simhala (Sri Langka).
Dari perkawinan ini lahir seorang putra, yang kemudian menjadi Dewawarman III dengan gelar Prabhu Singasagara Bimayasawirya. la menjadi penguasa Salakanagara dari tahun 195 - 238 M. Pada masa pemerintahannya, terjadi serangan bajak laut dari negeri China, yang dapat dihadapinya dan ditumpasnya. Dewawarman III kemudian mengadakan hubungan (pamitran) dengan maharaja China dan rajaraja India. Permaisuri Dewawarman III berasal dari Jawa Tengah.
Putri tertua yang lahir dari perkawinan ini bernama Tirta Lengkara. Putri sulung ini berjodoh dengan Raja Ujung Kulon bernama Darma Satyanagara. Kelak ia menggantikan mertuanya menjadi penguasa Salakanagara sebagai Dewawarman IV, yang memerintah dari tahun 238 - 252 M.
Dari perkawinan ini lahir putri sulung bernama Mahisasuramardini Warmandewi. Bersama suaminya yang bernama Darmasatyajaya sebagai Dewawarman V, ia memerintah selama 24 tahun dari 252 - 276 M. Ketika Dewawarman V yang merangkap jabatan sebagai panglima angkatan laut, gugur waktu perang menghadapi bajak laut. Sang rani, Mahisasuramardini melanjutkan pemerintahannya seorang diri sampai tahun 289 M.
Penguasa Salakanagara berikutnya adalah Ganayanadewa Linggabumi, putra sulung Dewawarman V atau Sang Mokteng Samudra (yang wafat di lautan). Prabu Ganayana menjadi penguasa Salakanagara sebagai Dewawarman VI selama 19 tahun, dari tahun 289 - 308 M. Dari perkawinannya dengan putri India, ia mempunyai tiga putra dan tiga putri.
Putra sulungnya yang kemudian menjadi Dewawarman VII, memerintah Salakanagara tahun 308 - 340 M, bergelar Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati. Yang kedua, seorang putri bernama Salaka Kancana Warmandewi, yang menikah dengan menteri Kerajaan Gaudi (Benggala) di India bagian timur. Putri yang ketiga bernama Kartika Candra Warmandewi. la menikah dengan seorang raja muda dari negeri Yawana. Yang keempat, laki-laki bernama Gopala Jayengrana. la menjadi seorang menteri Kerajaan Salankayana India. Yang kelima, seorang putri bernama Sri Gandari Lengkaradewi. Suami putri ini adalah menteri panglima angkatan laut kerajaan Pallawa di India. Putra bungsu Dewawarman VII adalah Skadamuka Dewawarman Jayasastru yang menjadi senapati Salakanagara.
Putra sulung Dewawarman VII bernama Sphatikarnawa Warmandewi. Kelak bersama suaminya akan menggantikan ayahnya sebagai penguasa Salakanagara kedelapan. Dewawarman VII mempunyai hubungan erat dengan kerajaan Bakulapura (Kutai) karena pertalian kerabat permaisurinya. Kakak sang permaisuri ini menikah dengan penguasa Bakulapura (di Kalimantan) yang bernama Atwangga putra Sang Mitrongga. Mereka keturunan wangsa Sungga dari Magada, yang pergi mengungsi tatkala negerinya dilanda serangan musuh. Dari putri ini dengan Atwangga, lahirlah Kudungga yang kelak menggantikan ayahnya menjadi penguasa Bakulapura.
Ketika Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati atau Dewawarman VII wafat, tibalah Senapati Krodamaruta dari Salankayana, di Rajatapura (ibukota Salakanagara), bersama beberapa ratus orang anggota pasukannya, bersenjata lengkap. Krodamaruta adalah putra Gopala Jayengrana, yaitu putra Dewawarman VI yang keempat. Yang menjadi menteri di kerajaan Salankayana. Krodamaruta langsung merebut kekuasaan dan tanpa menghiraukan adat pergantian tahta, ia menobatkan diri menjadi penguasa Salakanagara.
Ahli waris tahta yang sah, adalah Sphatikarnawa Warmandewi, putri sulung Dewawarman VII. Ia belum bersuami karena kelakuan Krodamaruta bertentangan dengan adat, sekalipun ia masih cucu Dewawarman VI, keluarga keraton beserta sebagian penduduk Salakanagara tidak menyenanginya. Akan tetapi, Krodamaruta tidak lama berkuasa, karena ia tewas tertimpa batu besar, ketika sedang berburu di hutan. Batu itu berasal dari puncak sebuah bukit. Akibat peristiwa itu, Krodamaruta hanya 3 bulan menjadi `penguasa' Salakanagara.
Kemudian, Sphatikarnawa Warmandewi, putri sulung Dewawarman VII, dinobatkan menjadi penguasa Salakanagara menggantikan ayahnya, pada tahun 340 M. Pada tahun 348 M, Sang Rani menikah dengan saudara sepupunya, putra Sri Gandari Lengkaradewi, yaitu putri Dewawarman VI yang kelima. la bersuamikan panglima angkatan laut Kerajaan Pallawa. Lengkaradewi beserta suami dan putrinya, datang ke Rajatapura dalam tahun 346 M sebagai pengungsi, karena negaranya (Pallawa) telah dikuasai oleh Maharaja Samudragupta dari keluarga Maurya.
Setelah pernikahannya, Rani Sphatikarnawa Warmandewi memerintah bersama suaminya, sebagai Dewawarman VIII bergelar Prabhu Darmawirya Dewawarman. Ia memerintah tahun 348- 363 M.
Pada masa pemerintahan Dewawarman VIII, kehidupan penduduk makmur sentosa. la sangat memajukan kehidupan keagamaan. Di antara penduduk, ada yang memuja Wisnu, namun jumlahnya tidak seberapa. Ada yang memuja Siwa, ada yang memuja Ganesha, dan ada pula yang memuja Siwa-Wisnu. Yang terbanyak pemeluknya adalah agama Ganesha atau Ganapati.
Dewawarman VIII mempunyai putraputri beberapa orang. Yang sulung, seorang putri bernama Iswari Tunggal Pertiwi Warmandewi atau Dewi Minawati. Yang kedua, seorang putra bernama Aswawarman. la diangkat anak sejak kecil oleh Sang Kudungga penguasa Bakulapura, kemudian, ia dijodohkan dengan putri Sang Kudungga. Yang ketiga, seorang putri bernama Dewi Indari yang kelak diperisteri oleh Maharesi Santanu, Raja Indraprahasta yang pertama. Putra Sang Dewawarman VIII yang lainnya, tinggal di Sumatera dan menurunkan para raja di sana. Di antara keluarganya kelak adalah sang Adityawarman. Anggota keluarganya yang lain, tinggal di Yawana dan Semenanjung. Putranya yang bungsu menjadi putra mahkota. Kelak setelah ayahandanya wafat, ia menggantikannya menjadi penguasa Salakanagara.
Permaisuri Dewawarman VIII ada dua orang. Permaisuri yang pertama ialah Rani Sphatikarnawa Warmandewi yang menurunkan raja-raja di Jawa barat dan Bakulapura. Permaisuri yang kedua, bernama Candralocana, putri seorang brahmana dari Salankayana di India. la menurunkan raja-raja di Pulau Sumatera, Semenanjung, dan Jawa Tengah.
Demikianlah kisah keturunan Dewawarman Darmalokapala yang menjadi penguasa Salakanagara. Kerajaan ini berdiri sebagai kerajaan bebas, selama 233 tahun (130 - 363 M). Dewawarman VIII, dianggap sebagai raja Salakanagara terakhir. Sebab putranya, Dewawarman IX sudah menjadi raja bawahan Tarumanagara.
Kajian Para Ahli
Sesungguhnya, berita tentang pernah adanya sebuah kerajaan tertua di Nusantara, telah dilacak oleh N. J. Krom dalam buku Het Hindoe-Tijdperk(1938:121), sebagaimana yang dikutip oleh Atja dan Edi S. Ekadjati, dalam pendahuluan buku Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara I.I (1987: 31), antara lain sebagai berikut:
Een naukeurig gedateerd Chineesch bericht uit 132 n. C, lidjt weer aan onzekerheid van interpretatie. In dat jaar zond ke koningvan Yettwo, genaarnd Pien, een gezantschap naar Cina, en kreeg genoemde kmting Tiarrpien een eergeschenk. In den nanm van het land ia Yawadwipa, Javaeiland, herkencl, ruaaruit zou volgen dot op dit oogenblik het eilaed in kruestie door de Chineezen met em Sanskritnaarn werd genoerrzd; naar zoo dadelijk zal blijkery inderdacrdzees aannamelijk, dot het in dezen tjid zijn door de Hindoe's gegeven naccm reeds droeg Ueel zwakker stoat de wedergave van den koningsnaarn nit den Dewawarnrarz, hetwelk de oudste ons bekende vorstnaam uit den Archipel zrnl z~n en teams zou veivrijzen, dot het hindoesiseeringsproces reeds een aanvang had gr?namen, hetzij dan dot een Hindoe er zich als leaning had neergezet of een Indonesisch vorst dien Indischen naam had aanvaard.
Untuk lebih dipahami, dikemukakan pula kutipan terjemahannya, antara lain sebagai berikut:
Suatu berita Tionghoa jang tertanggal seksama, dari tahun 132 sesudah Masehi mendjadi samar pula, oleh karena tidak dapat ditafsirkan dengan pasti. Dalam tahun itu tersebutlah radja Yetiao jang bernama Pien dan mengirimkan utusan ke Tiongkok dan radja Tiaopien tersebut memperoleh hadiah kehormatan. Dalam nama tanah itu dapatlah dikenal Yawadwipa (Pulau Djawa), jang mana akan berarti, bahwa diwaktu itu pula telah disebut pada nama Sanskertanja oleh orang Tionghoa. Memang mungkin sekali, seperti akan ternjata nanti bahwa pulau itu pada waktu itu telah memakai nama jang diberikan oleh orang Hindu. Djauh lebih lemah tafsiran nama radja itu dengan Dewawarman, jang bukan sadja berarti, bahwa nama radja inilah kiranja jang tertua jang kita kenal di Nusantara, tetapi djuga akan menerangkan, bahwa proses penghinduan sudah dimulai pada waktu itu, baik oleh karena seorang Hindu telah datang menetap dan mendjadikan dirinja radja, maupun seorang radja Nusantara telah mengambil nama Hindu tersebut (Effendi, 1950:11).
Bahwa Yetiao telah mengirimkan duta ke Cina pada tahun 132 M, yang disebut di dalam Hou Hanshu, telah dicatat oleh beberapa orang sarjana. Wolters (1967: 258) menyebut keterangan dari Pelliot (1904: 266 69), yang menyarankan bahwa Yetiao adalah sebuah transkripsi yang permulaan tentang "jawa" dan kesimpulan dapat ditarik tentang hubungan Cina-Indonesia paling tua pada abad kedua Masehi. Stein (1974: 13642) mengemukakan alasan untuk percaya, di dalam hal ini, Yetiao terletak di perbatasan barat daya Cina, tetapi Demieville (1951:336) tidak mempercayainya. Ia menyebut bahwa: "Java' ia also a mainland South East Asian toponym; it appears in Ram Khamhaeng's incription of 1292 in the contex of Laos". Sedangkan Fujita Toyohachi berpikir Yetiao adalah satu bentuk alternatif dari Ssutiao dalam arti Ceylon. Hal ini katanya tidak mengherankan, jika penguasa Simhala mengirimkan satu perutusan ke Cina pada tahun 132 M. Karena perutusan dari India Utara yang tertua dari tahun 89 M. (Atja & Ekadjati,1987:32).
Sartono Kartodirdjo, mengutip tulisan NJ. Krom dalam Hindoejavaanscht Geschiedenis (1931), antara lain sebagai berikut:
Berita lainnya yang juga tidak dapat dipastikan kebenarannya ialah berita Cina yang berasal dari tahun 132 M. Di dalam berita itu disebutkan, bahwa raja Yetiao yang bernama Pien, meminjamkan meterai mas dan pita ungu kerajaannya kepada maharaja Tiaopien. Menurut dugaan Sarjana Perancis G. Ferrand, Yetiao dapat disesuaikan dengan Yawadwipa, sedangkan Tiaopien merupakan lafal Cina dari nama Sanskerta Dewawarman (Kartodirdjo,1977:3637 )
Untuk lebih jelasnya, D.G.E. Hall, Guru Besar Emiritus Sejarah Asia Tenggara Universitas London, mengemukakan hal yang sama, antara lain:
Bahwa laporan orang-orang Cina berikutnya, tahun 132, mungkin ada artinya dalam hubungan ini, seandainya interpretasi yang agak kurang pasti dari nama-nama yang disebut mempunyai nilai. Disebut upacara penerimaan oleh Kaisar Han untuk suatu perutusan yang membawa hadiah kehormatan dari seorang raja Ye-tiao bernama Tiaopien. Apakah Yetiao merupakan terjemahan kedalam bahasa Cina dari istilah Sanskerta, Javadwipa, pulau Jawa, dan apakah nama raja itu sama dengan Dewawarman dalam bahasa Sanskerta?
Informasi yang nampaknya lebih pasti, datang dari ahli Ilmu Bumi asal Alexander bernama Claudius Ptolomy, yang menulis pada tahun 165 atau mungkin lebih awal lagi, dan jelas menggunakan sumber-sumber yang lebih tua lagi. Buku VII dari Geografinya, secara detail berisi tentang Asia Tenggara, yang menggambarkan negeri Perak dan negeri Mas dekat kota-kota di Semenanjung Mas, "Chryse Chersonesus". Di antara pulau-pulau Nusantara disebut "Barousai Lama", dihuni oleh pemakan daging manusia, "Sabadeibai Tiga", juga dihuni oleh pemakan daging manusia, dan pulau Yabadiou atau Sabadiou nama yang berarti negeri Jelai, yang dikatakan sangat subur dan menghasilkan emas banyak dan ibukotanya di ujung sebelah baratnya, sebuah kota dagang bernama Argyre atau Kota Perak (Hall, 1958 dalam Soewarsa,1988:1718).
Pendapat D. G. E. Hall, dipertegas lagi oleh Sartono Kartodirdjo, sebagaimana yang dikemukakan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia II, adalah sebagai berikut:
Dalam buku Geographike, kita bertemu kembali dengan nama-nama tempat yang berhubungan dengan logam mulia, yaitu emas dan perak. Tempat-tempat tersebut ialah Argyre Chora, yaitu negeri Perak, Chryse Chora, negeri emas dan Chryse Chersonensos, semenanjung emas. Kitab ini menyebutkan pula nama tempat Iabadiou, yaitu Pulau Enjelai (Kartodirdjo,1977: 6).
Menggunakan sumber yang sama, pendapat Yogaswara yang dikutip oleh Halwany Michrob, mengemukakan antara lain sebagai berikut:
Berita yang paling meyakinkan tentang hubungan Banten dengan Eropa, India dan Cina adalah dengan ditemukannya peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus. Peta ini dibuat pada tahun 165 M. berdasarkan tulisan geograf Starbo (27-14 SM) dan Plinius (akhir abad pertama masehi). Dalam peta ini digambarkan tentang jalur pelayaran dari Eropa ke Cina dengan melalui: India, Vietnam, ujung utara Sumatera, kemudian menyusuri pantai barat Sumatera, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Tiongkok selatan sampai ke Cina (Yogaswara, dalam Michrob 1993: 32).
Bermula dari sebuah berita Cina dari zaman Dinasti Han, memberitakan bahwa "raja Yetiao bernama Tiaopien, mengirimkan utusannya ke Cina dalam tahun 132 Masehi". Yetiao diduga sama dengan Yawadwipa atau Yabadiu, dan nama Tiaopien diduga sama dengan Dewawarman. Menurut Ayatrohaedi, Tiao artinya Dewa, dan Pien artinya Warman.
Sasaran mengarah ke Jawa bagian Barat, karena berita itu dihubungkan pula dengan tulisan seorang ahli Ilmu Bumi Mesir bernama Claudius Ptolemeus, dalam bukunya Geographia yang ditulis kirakira tahun 150 M. la memberitakan, bahwa di dunia timur terdapat Iabadiou yang subur dan banyak menghasilkan emas. Di ujung barat Iabadio terletak (kota) Argyre. Iabadiou dapat dicapai setelah melalui 5 pulau Barousai dan 3 pulau Sabadibai.
Bila kedua berita dari Cina dan Ptolemeus ini digabungkan, dengan sendirinya diduga kuat, bahwa hal tersebut menyangkut sebuah kerajaan di ujung barat Pulau Jawa.
Hasan Mu'arif Ambary, pakar arkeologi Islam Universitas Indonesia, seperti yang dimuat dalam majalah Tempo (2000: 67), menyatakan bahwa pada abad ketiga, Ptolemeus sudah melakukan transaksi perdagangan di Palembang, dan menyebut kota itu dengan nama Barus, lantaran ia menukar minyak wangi dan keramik Yunani dengan kapur barus, yang merupakan hasil utama kawasan itu.
Kartogtafer Eropa pada abad ke1517 mana pun yang hendak mencari tahu sejarah Nusantara mulanya berangkat dari keterangan Claudius Ptolemeus (90168 Masehi). Ahli matematika dan astronom dari Alexandria ini adalah orang pertama yang membuat catatan perjalanan ancar-ancar letak Asia.
Hasan Mu'arif Ambary, pernah melakukan penggalian di Palembang, dan nyatanya, banyak keramik dari Yunani yang bercorak sama dengan penemuan di India, Cina, dan Persia. Temuan tersebut membuktikan bahwa sebelum zaman Gold, Glory and Gospel, sudah ada jalur bisnis di Asia. Rute Ptolemeus adalah Venesia, Iskandaria, Teluk Aden (Yaman), India, Barus, Cina, dan kembali ke Venesia. Temuan selanjutnya, berupa benda-benda keramik dari masa Dinasti Han, terdapat di Jawa Barat (Krom, terjemahan Effendi,1956:10). Tepatnya di pesisir pantai utara Banten (Lombard, 1996:15).
Berdasarkan temuan tersebut di atas, dapat diduga, bahwa Claudius Ptolemeus yang menempatkan Iabadiou dan Argyre dalam kartografnya, tentu dilakukan berdasarkan catatan pemetaan yang cermat.
Bahkan, Sartono Kartodirdjo, menduga Argyre yang dimaksud oleh Claudius Ptolemeus, dalam bukunya Geographia Hyphegesis, yang berarti perak, adalah "terjemahan" dari Merak, yang memang terletak di sebelah barat Pulau Jawa (Kartodirdjo,1977: 36).
Ayatrohaedi dan Edi S. Ekadjati dalam acara bedah naskah Sejarah Banten (18 Maret 2001 di Puri Salakanagara Pandeglang), sebagai Dewan Pakar menyimpulkan, bahwa Salakanagara memang pernah ada di pesisir barat Pandeglang dan merupakan kerajaan tertua di Nusantara.
Bukti Peninggalan Sejarah :
- Menhir Cihunjuran
Adalah Menhir sebanyak 3 buah berada di sebuah mata air, yang pertama ditemukan di wilayah Desa Cikoneng. Menhir kedua ditemukan di Kecamatan Mandalawangi lereng utara Gunung Pulosari. Menhir ketiga ditemukan di Kecamatan Saketi lereng Gunung Pulosari, Kabupaten Pandeglang. Tanpa memberikan presisi dimensi dan lokasi administratif, naun dalam peta tampak terdapat di lereng sebelah barat laut gunung Pulosari, tak jauh dari kampung Cilentung, Kecamatan Saketi. Batu itu menyerupai batu prasasti Kawali II di Ciamis dan Batu Tulis di Bogor.
- Dolmen
Terdapat di kampung Batu Ranjang, Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang. Memiliki bentuk sebuah batu datar panjang 250 cm, dan lebar 110 cm, disebut Batu Ranjang. Terbuat dari batu andesit yang dikerjakan sangat halus serta permukaan yang rata dengan pahatan pelipit melingkar ditopang oleh 4 buah penyangga yang tingginya masing-masing 35 cm. Di tanah sekitarnya dan di bagian bawah batu terdapat ruang kosong. Di bawahnya ada fondasi dan batu kali yang menjaga supaya tiang penyangga tidak terbenam ke dalam tanah. Dolmen ditemukan tanpa unsur megalitik lain, kecuali 2 buah batu berlubang yang ada di sebelah timurnya.
- Batu Magnit
Terdapat di puncak Gunung Pulosari, pada lokasi puncak Rincik Manik, Desa Saketi, Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang. Yakni sebuah batu yang cukup unik, karena saat dilakukan pengukuran arah dengan kompas, walaupun ditempatkan di sekeliling batu dari berbagai arah mata angin, jarum kompas selalu menunjuk pada batu itu.
- Batu Dakon
Terdapat di Kecamatan Mandalawangi, tepatnya di situs Cihunjuran. Batu ini mempunyai beberapa lubang di tengahnya dan berfungsi sebagai tempat meramu obat-obatan
- Air Terjun Curug Putri
Terdapat di lereng Gunung Pulosari Kabupaten Pandeglang. Menurut cerita rakyat, air terjun ini dahulunya adalah tempat pemandian Nyai Putri Rincik Manik dan Ki Roncang Omas. Di lokasi itu, ada aneka macam batuan dalam bentuk persegi, yang berserak di bawah cucuran air terjun.
- Kolam Pemandian
Terdapat di situs Cihunjuran Kabupaten Pandeglang. Menurut cerita rakyat, pemandian ini dulunya dipakai oleh Prabu Angling Dharma atau Aki Tirem.
Referensi :
- Ali Sastraamidjaya, Data Kala Sejarah Kerajaan-kerajaan di Jawa Barat,
- Pangeran Wangsakerta, Naskah Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa.
Komentar
Posting Komentar