Kamis, 30 November 2023

Habib Hasyim bin Umar bin Thoha

PROFIL HABIB HASYIM BIN UMAR BIN THOHA ( Kakek Habib Lutfi )


Habib Hasyim merupakan kakek dari Habib Lutfi. Beliau lahir pada hari Senin bulan Jumadil Akhir tahun 1280 H/1862 M, di Karangampel, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.

Ayah Habib Hasyim bernama Habib Umar. Sedangkan, Ibu beliau bernama Syarifah Marinah binti Hasan Al-Qudsi. Dari garis keturunan ibunya Habib Hasyim merupakan keturunan Maulana Syarif Hidayatullah ( Sunan Gunung Jati ).

Habib Hasyim menikah dengan Syarifah Salmah binti Muhammad bin Ibrahim bin Yahya. Dari pernikahan tersebut, keduanya dikaruniai 12 anak, yaitu : 

  1. Syarifah Thalhah, 
  2. Habib Umar, 
  3. Habib Abu Bakar, 
  4. Syarifah Fadhlun, 
  5. Syarifah Syifa, 
  6. Syarifah Khodijaah, 
  7. Habib Muhammad, 
  8. Syarifah Su’ud, 
  9. Habib Ali Al-Gholib (Ayah Habib Lutfi),
  10. Habib Yahya, 
  11. Syarifah Ni’mah,
  12. Habib Sholeh.

Selain dengan Syarifah Salmah, Habib Hasyim juga menikah dengan seorang Syarifah bermarga Al-Habsyi, dan dikaruniai 2 orang anak, yaitu Habib Husain dan Syarifah Fatimah.

Pada hari Senin, 15 Rabi’ul Akhir 1350 H/1931 M, Habib Hasyim kembali ke haribaan ilahi, dua tahun setelah wafat sahabatnya Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Athos yang wafat pada tahun 1347 Hijriyah di bulan Rajab. Jenazah beliau dimakamkan di Sapuro. Hingga saat ini, komplek makam Sapuro selalu ramai oleh peziarah.

Guru Habib Hasyim

Di usia 6 tahun, kakek Abah Luthfi tersebut pernah diambil oleh Nabi Khidzir dari abahnya, Habib Umar bin Yahya, selama 9 tahun, untuk dididik dan dibersihkan hatinya. Beliau kembali saat usia 15 tahun dan melanjutkan studi di Yaman.

Pendidikan Habib Hasyim dimulai bersama ayah beliau sendiri yaitu Habib Umar di Karangampel, Indramayu. Kemudian beliau melanjutkan belajar agama dengan Habib Yusuf bin Yahya di Indramayu. Ketika usia beliau sekitar 25 tahun beliau, kemudian berguru kepada Syekh Sholeh Darat As-Samarani di Semarang.

Sejak kecil Habib Hasyim tinggal di Karangampel, setelah beliau beranjak dewasa, sekitar usia 27 tahun, beliau berpindah dan memutuskan untuk bermukim di Kota Pekalongan, tepatnya di Jalan Surabaya sebelah utara Masjid Nur, Pekalongan Utara.

Selain berguru dengan para ulama di Nusantara, sewaktu melakukan perjalanan Haji juga beliau manfaatkan untuk menimba ilmu kepada para ulama di Timur Tengah. Perjalanan haji waktu itu tentunya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat, karena perjalanannya harus menaiki kapal mengarungi samudra, sehingga waktu yang ditempuh juga lama. Dalam perjalanan ini beliau menyempatkan menimba ilmu di Makkah, Madinah dan Hadramaut.

Jejak Dakwah

Sekembalinya ke tanah air beliau kemudian menyebarkan ilmu yang beliau dapat. Banyak santri yang belajar kepada beliau. Di Pekalongan, Habib Hasyim mendirikan masjid yang diberi nama Masjid Al-Nur yang berdiri pada tahun 1883 M. Ketika itu masjid tersebut masih berbentuk panggung kemudian direhab menjadi bangunan tembok pada tahun 1923 M. Masjid tersebut berada di Kota Pekalongan (sekarang daerah kampung Arab di Jalan Cempaka). Di masjid inilah beliau selalu menyelenggarakan acara maulid Nabi Muhammad saw, untuk menumbuhkan rasa kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Acara maulid yang diselenggarakan Habib Hasyim ini adalah upaya untuk meneruskan tradisi yang sudah turun temurun dilakukan oleh leluhur beliau. Dari mulai Habib Thoha bin Muhammad Al-Qadhi bin Yahya yang wafat di Semarang, kemudian dilanjutkan oleh putranya Habib Hasan yang juga wafat di Semarang. Setelah itu diteruskan oleh putranya yaitu Habib Thoha, Shohib Rotib Kubro Ciledug.

Sepeninggal Habib Thoha putra-putra beliau juga meneruskan tradisi maulid ini, yaitu Habib Hasyim yang meninggal di Madinah, Habib Muhsin yang tinggal di Kutai Kalimantan, dan juga Habib Umar yang mendirikan Pesantren di Sindang Laut Cirebon kemudian bermukim di Indramayu. Dari Habib Umar inilah, kemudian putranya yang bernama Habib Hasyim meneruskan tradisi maulid di Pekalongan.

Dalam mengadakan acara maulid Nabi, beliau tidak menunggu bantuan dari manapun, karena semua biasa beliau tanggung sendiri dan memang harta yang beliau miliki dicurahkan sepenuhnya untuk dunia pendidikan dan dakwah. Di Indramayu tempat kelahirannya, Habib Hasyim mempunyai lahan pertanian yang cukup luas sehingga dapat menopang kegiatan-kegiatan pendidikan dan dakwah yang beliau selenggarakan, di samping itu beliau juga mempunyai usaha-usaha yang lain.

Murid Habib Hasyim

Perkembangan acara maulid Nabi yang beliau selenggarakan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini menimbulkan kecurigaan dari pihak penjajah, namun mereka sangat hati-hati dalam mengawasi kegiatan tersebut. Sebab Habib Hasyim mempunyai pengaruh yang sangat besar di kalangan masyarakat Pekalongan. 

Beliau juga menjadi rujukan para ulama pada zamannya, di antaranya adalah Syekh Hasyim Asy’ari dan Syekh Muhammad Amir Simbang dan tokoh-tokoh lainnya. Beliau terkenal ke-‘allamah-annya (sangat alim), Bahkan Syekh Amir mengatakan bahwa Habib Hasyim itu ‘Allamatuddunya fi zamaanih (sealim-alimnya orang di dunia pada zamannya).

Sumber : JATMAN ONLINE, ANSOR MEDIA, dan JAMASAN TV

Selasa, 28 November 2023

Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Athas

PROFIL HABIB AHMAD BIN ABDULLAH BIN THALIB Al-ATHAS ( Buyut Habib Baqir )


Habib Ahmad bin Abdullah al-Athas lahir di kota Hajren, Hadramaut, Yaman pada tahun 1255 H. Pada masa kecilnya, beliau mendapat didikan langsung dari orang tua beliau, yaitu Habib Abdullah bin Thalib al-Athas dan Syarifah Zaenah Binti Ahmad Al-Kaff.

Selain itu, Beliau juga berguru kepada para Ulama besar di Hadramaut. Diantara guru beliau disana adalah : 

- Habib Hasan bin Ali Al-Kaff, 

- Habib Sholeh bin Abdullah al-Athas, 

- Habib Bakar bin Abdullah Al-Athas, 

- Habib Thahir bin Umar Al-Haddad, 

- Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi, 

- Habib Ahmad bin Hasan bin Sholeh Al-Bahar, 

- Habib Muhammad bin Ibrahim Balfagih.

Kemudian melanjutkan pendidikan di kota Mekkah selama 12 tahun. Diantara guru beliau disana adalah : 

- Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, 

- Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi,

- SyaikhMuhammad bin Said Babsail, 

- Habib Salim bin Ahmad Al-Athas.

Atas nasihat guru beliau, As-Sayyid Al-Allamah Ahmad bin Zaini Dahlan, Beliau dianjurkan supaya mengajarkan ilmunya kepada masyarakat. Awalnya beliau berdakwah di pinggiran kota Makkah selama 7 tahun. Namun, Sekitar tahun 1295-1300 H, Beliau memutuskan untuk Hijrah ke Indonesia dan menetap di kota Pekalongan untuk meneruskan kegiatan dakwahnya. 

Rumah almarhum Habib Ahmad, terletak di Jalan Haji Agus Salim 29, Pekalongan yang bagian depannya menjadi Masjid Raudah dan tempat kegiatan keagamaan, juga menampung ratusan jamaah dari luar kota. 

Habib Baqir bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Athas merupakan cicit dari Habib Ahmad bin Abdullah Al-Athas sekaligus penerus dakwah Beliau.

Dalam amaliyah keseharian, sebagaimana yang ditulis dalam kitab “Taj Al-A’ras” karya al-Habib al-Quthb Ali Bin Husein al-Athas diceritakan, Habib Ahmad tidak pernah meninggalkan sholat tahajud setiap harinya dan di dalamnya selalu membaca satu juz Al Qur’an dan satu juz lagi dibaca saat sholat dhuha. Membaca ratib yang disusun Habib Umar Bin Abdurrahman al-Athas dan membaca wirid karangan habib Abdullah Al Haddad adalah pekerjaan setiap pagi dan sore Habib Ahmad. 

Beliau wafat dalam usia 92 tahun, bertepatan pada malam ahad, tanggal 24 Rajab 1347 H atau (6 Januari 1929) dan dimakamkan di Sapuro, Kota Pekalongan. Walaupun Beliau wafat pada tanggal 24 Rajab, namun acara haulnya diperingati setiap tanggal 14 Sya'ban, bertepatan dengan malam Nisfu Sya'ban. 

Sehari menjelang Khoul, pada malam harinya di Masjid Raudah diselenggarakan acara khataman Shahih Bukhari, salah satu mata pelajaran yang diberikan kepada murid-muridnya selama almarhum hidup.

Sumber : NU Online & JAMASAN TV

Selasa, 31 Oktober 2023

Maharaja Panangkaran

Maharaja Panangkaran adalah Raja Medang kedua yang memerintah sekitar tahun 746 - 784 dengan gelar Srī Mahārāja Rakai Pānangkaran Dyaḥ Pañcapana (Hanacaraka:ꦯꦿꦷꦩꦲꦴꦫꦴꦗꦫꦏꦻꦥꦴꦤꦔ꧀ꦏꦫꦤ꧀‌ꦢꦾꦃꦥꦚ꧀ꦕꦥꦤ )

Namanya dikenal melalui Prasasti Raja SankharaPrasasti KalasanPrasasti Mantyasih, dan Prasasti Wanua Tengah III serta diperkuat oleh Naskah Wangsakerta.

Maharaja Panangkaran
Srī Mahārāja Rakai Pānangkaran Dyaḥ Pañcapana
Raja Medang ke-2
Berkuasa(4 Oktober 746 - 6 Maret 784 M)
PendahuluSanjaya
PenerusRakai Panaraban
Raja Sriwijaya ke-7
Berkuasa746 - 784
PendahuluRudra Wikrama
PenerusDharanindra
Informasi pribadi
KelahiranDyah Pancapana
WangsaSailendra
AyahSanjaya
IbuDewi Sudhiwara
(Putri Dewasingha)
Pasangan
Anak
AgamaHindu

Sang Pembangun Candi

Maharaja Rakai Panangkaran menempati urutan kedua dalam daftar raja-raja Kerajaan Medang versi prasasti Mantyasih. Namanya ditulis setelah Sanjaya, yang diyakini sebagai pendiri kerajaan tersebut. Prasasti ini dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung pada tahun 907, atau ratusan tahun sejak masa kehidupan Rakai Panangkaran.

Sementara itu, prasasti yang berasal dari zaman Rakai Panangkaran adalah prasasti Kalasan tahun 778. Prasasti ini merupakan piagam peresmian pembangunan sebuah candi Buddha bernama Tarabhavanam (Buana Tara) untuk memuja Dewi Tara. Pembangunan ini atas permohonan para guru raja Sailendra. Dalam prasasti itu Rakai Panangkaran dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka atau “permata Wangsa Sailendra”. Candi yang didirikan oleh Rakai Panangkaran tersebut sekarang dikenal dengan sebutan Candi Kalasan.

Periode pemerintahannya ditandai dengan giatnya pembangunan candi-candi beraliran Buddha Mahayana di kawasan Dataran Prambanan. Selain candi Kalasan, beberapa candi yang diperkirakan dibangun atas prakarsa Rakai Panangkaran antara lain Candi Sari yang dikaitkan sebagai wihara pendamping Candi Kalasan, Candi Lumbung, Prasada Vajrasana Manjusrigrha (Candi Sewu), dan Abhayagiri Vihara (kompleks Ratu Boko).[1]

Prasasti Abhayagiri Wihara yang berangka tahun 792 M menyebutkan tokoh bernama Tejahpurnapane Panamkarana (Rakai Panangkaran) mengundurkan diri sebagai Raja karena menginginkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan dengan mendirikan wihara yang bernama Abhayagiri Wihara, yang dikaitkan dengan kompleks Ratu Boko. Diperkirakan Raja Panangkaran telah wafat sebelum Candi Sewu dan Abhayagirivihara rampung, sehingga ia tidak sempat menyaksikan beberapa karyanya (Candi Sewu).[1]

Hubungan dengan Sanjaya dan Dharanindra

Sanjaya merupakan raja pertama Kerajaan Medang. Menurut prasasti Canggal (732), ia menganut agama Hindu aliran Siwa. Sementara itu Rakai Panangkaran adalah raja kedua Kerajaan Medang. Menurut prasasti Kalasan (778), ia mendirikan sebuah candi Buddha aliran Mahayana. Sehubungan dengan berita tersebut, muncul beberapa teori seputar hubungan di antara kedua raja tersebut.

Teori pertama dipelopori oleh Van Naerssen menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya. Wangsa Sanjaya kemudian dikalahkan oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha. Pembangunan Candi Kalasan tidak lain merupakan perintah dari raja Sailendra terhadap Rakai Panangkaran yang telah tunduk sebagai bawahan. Nama raja Sailendra tersebut diperkirakan sama dengan Dharanindra yang ditemukan dalam prasasti Kelurak (782). Teori ini banyak dikembangkan oleh para sejarawan Barat, antara lain George Cœdès, ataupun Dr. F.D.K. Bosch.

Teori kedua dikemukakan oleh Prof. Poerbatjaraka yang menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya namun keduanya sama-sama berasal dari Wangsa Sailendra, bukan Wangsa Sanjaya. Dalam hal ini Poerbatjaraka tidak mengakui keberadaan Wangsa Sanjaya. Menurut pendapatnya (yang juga didukung oleh sejarawan Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosutanto), sebelum meninggal, Sanjaya sempat berwasiat agar Rakai Panangkaran berpindah ke agama Buddha. Teori ini berdasarkan kisah dalam Carita Parahyangan tentang tokoh Rahyang Panaraban putra Sanjaya yang dikisahkan pindah agama. Rahyang Panaraban ini menurut Poerbatjaraka identik dengan Rakai Panangkaran. Jadi, yang dimaksud dengan "para guru raja Sailendra" tidak lain adalah guru Rakai Panangkaran sendiri.

Teori ketiga dikemukakan oleh Slamet Muljana bahwa, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya. Dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih tertulis nama Sanjaya bergelar Sang Ratu, sedangkan Rakai Panangkaran bergelar Sri Maharaja. Perubahan gelar ini membuktikan terjadinya pergantian dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang. Jadi, Rakai Panangkaran adalah raja dari Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Medang serta mengalahkan Wangsa Sanjaya. Menurut Slamet Muljana, Rakai Panangkaran tidak mungkin berstatus sebagai bawahan Wangsa Sailendra karena dalam prasasti Kalasan ia dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa Sailendra).

Dalam hal ini, Slamet Muljana menolak teori bahwa Rakai Panangkaran adalah bawahan Dharanindra. Menurutnya, Rakai Panangkaran dan Dharanindra sama-sama berasal dari Wangsa Sailendra. Meskipun demikian, ia tidak menganggap keduanya sebagai tokoh yang sama. Menurutnya, Dharanindra tidak sama dengan Rakai Panangkaran yang memiliki nama asli Dyah Pancapana (sesuai pemberitaan prasasti Kalasan). Muljana berpendapat, Dharanindra adalah nama asli dari Rakai Panunggalan, yaitu raja ketiga Kerajaan Medang yang namanya disebut sesudah Rakai Panangkaran dalam prasasti Mantyasih.

Dengan ditemukannya prasasti Wanua Tengah III, maka misteri hubungan antara Rakai Panangkaran dengan Sanjaya telah menemukan titik terang. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung tahun 908 masehi menyebutkan daftar raja-raja Kerajaan Medang seperti prasasti Mantyasih tahun 907. Dalam prasasti Wanua Tengah III disebutkan bahwa Rakai Panangkaran adalah anak dari Rahyangta i Hara, sedangkan Rahyangta i Hara adalah adik dari Rahyangta i Medang.

Jika dalam prasasti Mantyasih disebutkan bahwa Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang, maka dapat dipastikan bahwa Rahyangta i Medang dalam prasasti Wanua Tengah III, adalah Sanjaya itu sendiri. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Rakai Panangkaran adalah keponakan dari Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

Referensi

  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  • Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS

Pranala luar

  1. 1 2

    Papan Informasi di Candi Sewu, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah

Didahului oleh:
Sanjaya
Raja Medang (Menurut Prasasti Wanua Tengah III)
( 746 - 784 )
Diteruskan oleh:
Rakai Panunggalan

Kamis, 07 September 2023

Ratu Sanjaya

Sanjaya merupakan Raja terbesar di Tanah Jawa pada masanya, karena kekuasaannya meliputi Sunda, Galuh, dan Medang.

Sanjaya mewarisi tahta Sunda dari Tarusbawa, kemudian mewarisi Galuh dari Sanna, dan Mewarisi Kalingga dari Sannaha dengan mendirikan kerajaan baru bernama Medang.

Namanya dikenal melalui prasasti Canggal, prasasti Mantyasih, dan Prasasti Wanua Tengah III serta naskah Carita Parahyangan.

Walaupun naskah Carita Parahyangan bukan sumber primer tetapi naskah tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pengecekan dan pembanding serta pelengkap.

Dalam prasasti Mantyasih, Sanjaya disebut dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Berbeda dengan gelar para penggantinya ia menggunakan gelar Sang Ratu, itu artinya posisinya lebih tinggi dari para Maharaja.

Setelah dicek menggunakan naskah Carita Parahyangan, akhirnya terungkap bahwa gelar Sang Ratu yang ia sandang tersebut karena ia mewarisi dan menjabat sebagai raja di tiga kerajaan yaitu Sunda, Galuh, dan Medang.

  
Ratu Sanjaya
Sri Maharaja Harisdarma Bimaparakrama
(Gelar sebagai Raja Sunda)

Prabu Maheswara Sarwajitastru Yupapurnajaya
(Gelar sebagai Raja Galuh)

Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
(Gelar sebagai Raja Medang)
Raja Sunda ke-2
Berkuasa(723 - 732)
PendahuluTarusbawa
PenerusTamperan Barmawijaya
Raja Galuh ke-5
Berkuasa(723 - 732)
PendahuluPurbasora
PenerusTamperan Barmawijaya
Raja Medang ke-1
Berkuasa(6 Oktober 732 - 4 Oktober 746)
PendahuluJabatan baru
PenerusRakai Panangkaran
Informasi pribadi
KelahiranSanjaya
WangsaSyailendra
AyahSanna
IbuSannaha
Pasangan
Anak
Ratu Sanjaya
Didahului oleh:
Sanna
sebagai Raja Galuh 3
Raja Kerajaan Medang
732 - 746
Diteruskan oleh:
Rakai Panangkaran
Didahului oleh:
Sri Maharaja Tarusbawa
sebagai Raja Sunda 1
Raja Sunda dan Galuh
723-732
Diteruskan oleh:
Tamperan Barmawijaya
Didahului oleh:
Purbasora
sebagai Raja Galuh 4


Merebut kembali tahta Galuh

Sebagaimana diketahui bahwa ayah Sanjaya, Sena adalah raja ketiga dari Kerajaan Galuh yang naik takhta pada tahun 709 M. Namun Sena dikudeta oleh Purbasora pada tahun 716 M yang menyebabkan Sena beserta keluarganya melarikan diri dan meminta perlindungan kepada Raja Kerajaan Sunda, Tarusbawa. Setelah Sanjaya berhasil menjadi raja di Kerajaan Sunda pada tahun 732 M untuk menggantikan Tarusbawa. Sanjaya segera menyusun rencana untuk merebut kembali takhta dari tangan Purbasora yang masih pamannnya sendiri.

Sanjaya segera mempersiapkan pasukannya untuk menggempur Kerajaan Galuh. Setelah memperkuat pasukannya, Sanjaya juga mencari dukungan dari berbagai tempay yang menggulingkan Purbasora dari takhta Kerajaan Galuh. Kemudian Sanjaya pergi ke Kerajaan Denuh (yang sekarang berada di Taksimalaya) untuk meminta dukungan Rajaresi Wanayasa Rahyang Kidul. Karena itu Kerajaan Denuh, Wanayasa menolak permintaan Sanjaya dan memilih untuk bersikap netral.

Setelah permintaanya kepada Rajaresi Wayanasa Rahyang Kidul dari Kerajaan Denuh, lalu segera menuju ke Kerajaan Gunung Sawal untuk mendapatkan dukungan. Setelah mendapatkan dukungan, kemudian Kerajaan Gunung Sawal dijadikan markas untuk pasukan Sanjaya untuk merebut Kerajaan Galuh. Dari Kerajaan Gunung Sawal ini, Sanjata beserta pasukannya berhasil membunuh Purbasora pada tahun 723 M. Setelah berhasil membunuh Purbasora, Sanjaya segera mempersiapkan diri dan pasukannya menyerang Kerajaan Indraprahasta di tahun yang sama. Kerajaan Indraprahasta ini adalah asal dari permaisuri Purbasora yang bernama Citra Kirana.

Menjadi raja Sunda dan Galuh

Setelah berhasil membunuh Purbasora dan menghancurkan Kerajaan Indraprahasta, Sanjaya naik takhta sebagai Raja Kerajaan Galuh yang kelima pada tahun 723 M. Sedangkan Sekar Kencana dijadikan pula sebagai permaisuri Kerajaan Galuh dengan gelar Teja Kancana Ayu Purnawangi. Sedangkan Sanjaya bergelar Sri Maharaja Harisdarma Bimaparakrama atau dikenal pula dengan gelar Prabu Maheswara Sarwajitastru Yupapurnajaya. Setelah dinobatkan sebagai raja di Kerajaan Galuh, Sanjaya secara langsung memerintah dua kerajaan, yakni Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.

Di sisi lain, Sanjaya juga mendapatkan hak takhta Kerajaan Kalingga dari ibunya. Sehingga Sanjaya kini menjadi raja dari tiga kerajaan, yakni Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga. Meskipun kini Sanjaya menjadi raja di Kerajaan Galuh setelah menyinngkirkan Purbasora, namun kondisi politik di Kerajaan Galuh belum dapat dikatakan kondusif.

Sebagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan di Kerajaan Galuh, maka disepakati bahwa Sanjaya tidak memerintah Kerajaan Galuh secara langsung. Sempakwaja Bhatara Danghyang Guru, kemudian mengangkat Premana Dikusuma anak dawi Wijayakusuma sekaligus cucu dari Purbasora. Setelah pengangkatan Premana Dikusuma, Sanjaya menempatkan anaknya, Rakryan Tamperan (Tamperan Barmawijaya sebagai duta (perwakilannya) di Kerajaan Galuh.

Mewariskan Tahta Sunda kepada Tamperan Barmawijaya

Penempatan Tamperan Barmawijaya (Rakryan Tamperan atau Rahyang Tamperan) ternyata menyebabkan kondisi politik Kerajaan Galuh kembali memanas. Oleh sebab itu, Sanjaya menarik Tamperan Barmawijaya menuju ke ibukota Kerajaan Sunda di Pakuan. Pada tahun 731 M, Sanjaya dipanggil oleh ayahnya, Sena yang kini berkuasa di Kerajaan Kalingga memerintah atas nama isterinya, Sanaha cucu dari Ratu Sima. Pada tahun 732 M, Sanjaya menggantikan Sena, untuk menjadi sebagai raja di Kalingga. Setelah mengantikan Sena di Kerajaan Kalingga, Sanjaya memberikan takhta Kerajaan Sunda kepada anaknya, Tamperan Barmawijaya (Rakryan Tamperan atau Rahyang Tamperan).

Di sisi lain, Sanjaya mendirikan Kerajaan Medang dan menjadi sebagai Raja yang pertama yang memerintah di Kerajaan Medang pada sekitar tahun 732-746. Sanjaya disebut nama yang lain, yakni Sanjaya dari Mataram. Dia bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

Mendirikan Kerajaan Medang

Dalam prasasti Mantyasih yang dikeluarkan Maharaja Dyah Balitung tahun 907, nama Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya tertulis pada urutan pertama dari para raja yang pernah memerintah Kerajaan Medang.

Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tanggal 6 Oktober 732 yang berisi tentang pendirian sebuah lingga serta bangunan candi untuk memuja Siwa di atas sebuah bukit. Candi tersebut kini hanya tinggal puing-puing reruntuhannya saja, yang ditemukan di atas Gunung Wukir, dekat Kedu.

Prasasti Canggal juga mengisahkan bahwa, sebelum Sanjaya bertakhta sudah ada raja lain bernama Sanna yang memerintah Pulau Jawa dengan adil dan bijaksana. Setelah Sanna meninggal dunia karena gugur diserang musuh, keadaan menjadi kacau. Sanjaya putra Sannaha (saudara perempuan Sanna) kemudian tampil sebagai raja. Dengan gagah berani ia menaklukkan raja-raja lain di sekitarnya, sehingga Pulau Jawa kembali tentram.

Prasasti Canggal ternyata tidak menyebutkan nama kerajaan yang dipimpin Sanna dan Sanjaya. Sementara itu, prasasti Mantyasih menyebut Sanjaya sebagai raja pertama Kerajaan Medang yang terletak di Pohpitu. Adapun nama Sanna sama sekali tidak disebut dalam prasasti tersebut. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa Sanna bukanlah raja Medang. Dengan kata lain, Sanjaya memang mewarisi takhta Sanna namun mendirikan sebuah kerajaan baru yang berbeda dari sebelumnya. Kisah ini mirip dengan kejadian pada akhir abad ke-13, yaitu Raden Wijaya mewarisi takhta Kertanagara raja terakhir Singhasari, tetapi ia mendirikan sebuah kerajaan baru bernama Majapahit.

Pada zaman Kerajaan Medang terdapat suatu tradisi mencantumkan jabatan lama di samping gelar sebagai maharaja. Misalnya, raja yang mengeluarkan prasasti Mantyasih (907) adalah Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambhu. Itu artinya, jabatan lama Dyah Balitung sebelum menjadi raja Medang adalah sebagai kepala daerah Watukura.

Sementara itu, gelar Sanjaya sebagai raja adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Dapat diperkirakan ketika Sanna masih berkuasa, Sanjaya bertindak sebagai kepala daerah Mataram (daerah Yogyakarta sekarang). Disebutkan pula dalam prasasti Mantyasih bahwa Sanjaya adalah raja pertama yang bertakhta di Kerajaan Medang yang terletak di Pohpitu (‘’rahyangta rumuhun i Medang i Pohpitu’’). Dengan demikian, Pohpitu adalah ibu kota Kerajaan Medang yang dibangun oleh Sanjaya, tetapi di mana letaknya belum bisa dipastikan sampai saat ini.

Kapan tepatnya Kerajaan Medang berdiri tidak diketahui dengan pasti. Seorang keturunan Sanjaya bernama Daksottama memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa atau “kalender Sanjaya” dalam prasasti-prasastinya, antara lain prasasti Taji Gunung tahun 910, prasasti Timbangan Wungkal tahun 913, Prasasti Tulang Er tahun (914 M) dan prasasti Tihang tahun 914. Menurut analisis para sejarawan, tahun 1 Sanjaya bertepatan dengan tahun 716 Masehi dan besar kemungkinan itu adalah tahun di mana Sanjaya berhasil mendapatkan kembali takhta warisan Sanna. Nama Sanjaya juga dapat kita jumpai pula dalam Prasasti Pupus yang ditemukan di daerah Semarang pada tahun 822 (900 M). Dalam Prasasti Pupus ini disebutkan bahwa Sanjaya telah meninggal atau Rahyangta.

Hubungan dengan Rakai Panangkaran

Menurut prasasti Mantyasih, Sanjaya digantikan oleh Maharaja Rakai Panangkaran sebagai raja Medang berikutnya. Raja kedua ini mendirikan sebuah bangunan Buddha, yang kini dikenal sebagai Candi Kalasan, atas permohonan para guru raja Sailendra tahun 778. Berdasarkan berita tersebut, muncul beberapa teori tentang hubungan Sanjaya dengan Rakai Panangkaran.

Teori pertama dipelopori oleh van Naerssen menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya yang beragama Hindu. Ia dikalahkan oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha. Jadi, pembangunan Candi Kalasan ialah atas perintah raja Sailendra terhadap Rakai Panangkaran yang menjadi bawahannya.

Teori kedua dipelopori oleh Porbatjaraka yang menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya, dan mereka berdua merupakan anggota Wangsa Sailendra. Dengan kata lain, Wangsa Sanjaya tidak pernah ada karena tidak pernah tertulis dalam prasasti apa pun. Menurut teori ini, Rakai Panangkaran pindah agama menjadi penganut Buddha atas perintah Sanjaya sebelum meninggal. Jadi, yang dimaksud dengan istilah “para guru raja Sailendra” dalam prasasti Kalasan tidak lain adalah para guru Rakai Panangkaran sendiri.

Teori ketiga dipelopori oleh Slamet Muljana bertentangan dengan kedua teori di atas. Menurutnya, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya, melainkan anggota Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Kerajaan Medang dan mengalahkan Wangsa Sanjaya. Teori ini didasarkan pada daftar para raja dalam prasasti Mantyasih di mana hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu, sedangkan para penggantinya tiba-tiba begelar Maharaja. Selain itu, Rakai Panangkaran tidak mungkin berstatus sebagai raja bawahan, karena ia dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa Sailendra) dalam prasasti Kalasan. Alasan lainnya ialah, dalam prasasti Mantyasih Rakai Panangkaran bergelar maharaja, sehingga tidak mungkin kalau ia hanya seorang bawahan.

Jadi, menurut teori pertama dan kedua, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya. Sedangkan menurut teori ketiga, Rakai Panangkaran adalah musuh yang berhasil mengalahkan Sanjaya.

Sementara itu menurut teori pertama, Rakai Panangkaran adalah bawahan raja Sailendra. Sedangkan menurut teori kedua dan ketiga, Rakai Panangkaran adalah raja Sailendra itu sendiri.

Akan tetapi, dengan ditemukannya prasasti Wanua Tengah III, maka misteri hubungan antara Rakai Panangkaran dengan Sanjaya telah menemukan titik terang. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung tahun 908 Masehi juga menyebutkan daftar raja-raja Kerajaan Medang seperti prasasti Mantyasih tahun 907. Dalam prasasti Wanua Tengah III disebutkan bahwa Rakai Panangkaran adalah anak dari Rahyangta i Hara, sedangkan Rahyangta i Hara adalah adik dari Rahyangta i Medang.

Jika dalam prasasti Mantyasih disebutkan bahwa Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang, maka dapat diduga bahwa Rahyangta i Medang dalam prasasti Wanua Tengah III tidak lain adalah Sanjaya itu sendiri. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Rakai Panangkaran merupakan keponakan dari Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

Prasasti Wanua Tengah III juga menyebutkan awal mula Rakai Panangkaran naik takhta, yaitu pada 7 Oktober 746. Jika demikian, dapat disimpulkan pula bahwa pada tahun 746 itulah pemerintahan Sanjaya berakhir.

Sanjaya Raja Tanah Jawa

  • Sanjaya bergelar Sri Maharaja Harisdarma Bimaparakrama sebagai raja kedua yang memerintahkan Kerajaan Sunda pada tahun 723 - 732 M.
Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Tarusbawa
Raja Sunda ke-2
723732
Diteruskan oleh:
Tamperan Barmawijaya
  • Sanjaya bergelar Prabu Maheswara Sarwajitastru Yupapurnajaya sebagai raja kelima yang memerintahkan Kerajaan Galuh pada tahun 747 - (?) M.
Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Purbasora
Raja Galuh ke-5
723732
Diteruskan oleh:
Premana Dikusuma
  • Sanjaya sebagai raja kelima yang memerintahkan Kerajaan Kalingga pada tahun 732 - (?) M.
Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Sena
Raja Kalingga ke(?)
732(?)
Diteruskan oleh:
???
  • Sanjaya bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya sebagai pendiri Kerajaan Medang yang memerintah pada tahun 732 - 746 M.
Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
-
Raja Medang ke-1
732746
Diteruskan oleh:
Rakai Panangkaran

Referensi

  • Ayatrohaedi. 2005. SUNDAKALA Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Bandung: Pustaka Jaya
  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
  • Supratikno Rahardjo. 2002. ‘’Peradaban Jawa: dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir’’. Depok: Komunitas Bambu.
  • Seri Biografi Tokoh - Abhesiva.id https://abhiseva.id/rahyang-sanjaya-penerus-takhta-kerajaan-sunda/