Sanjaya merupakan Raja terbesar di Tanah Jawa pada masanya, karena kekuasaannya meliputi Sunda, Galuh, dan Medang.
Sanjaya mewarisi tahta Sunda dari Tarusbawa, kemudian mewarisi Galuh dari Sanna, dan Mewarisi Kalingga dari Sannaha dengan mendirikan kerajaan baru bernama Medang.
Namanya dikenal melalui prasasti Canggal, prasasti Mantyasih, dan Prasasti Wanua Tengah III serta naskah Carita Parahyangan.
Walaupun naskah Carita Parahyangan bukan sumber primer tetapi naskah tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pengecekan dan pembanding serta pelengkap.
Dalam prasasti Mantyasih, Sanjaya disebut dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Berbeda dengan gelar para penggantinya ia menggunakan gelar Sang Ratu, itu artinya posisinya lebih tinggi dari para Maharaja.
Setelah dicek menggunakan naskah Carita Parahyangan, akhirnya terungkap bahwa gelar Sang Ratu yang ia sandang tersebut karena ia mewarisi dan menjabat sebagai raja di tiga kerajaan yaitu Sunda, Galuh, dan Medang.
Ratu Sanjaya | |
---|---|
Sri Maharaja Harisdarma Bimaparakrama (Gelar sebagai Raja Sunda) Prabu Maheswara Sarwajitastru Yupapurnajaya (Gelar sebagai Raja Medang) | |
Raja Sunda ke-2 | |
Berkuasa | (723 - 732) |
Pendahulu | Tarusbawa |
Penerus | Tamperan Barmawijaya |
Raja Galuh ke-5 | |
Berkuasa | (723 - 732) |
Pendahulu | Purbasora |
Penerus | Tamperan Barmawijaya |
Raja Medang ke-1 | |
Berkuasa | (6 Oktober 732 - 4 Oktober 746) |
Pendahulu | Jabatan baru |
Penerus | Rakai Panangkaran |
Informasi pribadi | |
Kelahiran | Sanjaya |
Wangsa | Syailendra |
Ayah | Sanna |
Ibu | Sannaha |
Pasangan |
|
Anak |
|
Ratu Sanjaya | ||
Didahului oleh: Sanna sebagai Raja Galuh 3 |
Raja Kerajaan Medang 732 - 746 |
Diteruskan oleh: Rakai Panangkaran |
Didahului oleh: Sri Maharaja Tarusbawa sebagai Raja Sunda 1 |
Raja Sunda dan Galuh 723-732 |
Diteruskan oleh: Tamperan Barmawijaya |
Didahului oleh: Purbasora sebagai Raja Galuh 4 |
Merebut kembali tahta Galuh
Sebagaimana diketahui bahwa ayah Sanjaya, Sena adalah raja ketiga dari Kerajaan Galuh yang naik takhta pada tahun 709 M. Namun Sena dikudeta oleh Purbasora pada tahun 716 M yang menyebabkan Sena beserta keluarganya melarikan diri dan meminta perlindungan kepada Raja Kerajaan Sunda, Tarusbawa. Setelah Sanjaya berhasil menjadi raja di Kerajaan Sunda pada tahun 732 M untuk menggantikan Tarusbawa. Sanjaya segera menyusun rencana untuk merebut kembali takhta dari tangan Purbasora yang masih pamannnya sendiri.
Sanjaya segera mempersiapkan pasukannya untuk menggempur Kerajaan Galuh. Setelah memperkuat pasukannya, Sanjaya juga mencari dukungan dari berbagai tempay yang menggulingkan Purbasora dari takhta Kerajaan Galuh. Kemudian Sanjaya pergi ke Kerajaan Denuh (yang sekarang berada di Taksimalaya) untuk meminta dukungan Rajaresi Wanayasa Rahyang Kidul. Karena itu Kerajaan Denuh, Wanayasa menolak permintaan Sanjaya dan memilih untuk bersikap netral.
Setelah permintaanya kepada Rajaresi Wayanasa Rahyang Kidul dari Kerajaan Denuh, lalu segera menuju ke Kerajaan Gunung Sawal untuk mendapatkan dukungan. Setelah mendapatkan dukungan, kemudian Kerajaan Gunung Sawal dijadikan markas untuk pasukan Sanjaya untuk merebut Kerajaan Galuh. Dari Kerajaan Gunung Sawal ini, Sanjata beserta pasukannya berhasil membunuh Purbasora pada tahun 723 M. Setelah berhasil membunuh Purbasora, Sanjaya segera mempersiapkan diri dan pasukannya menyerang Kerajaan Indraprahasta di tahun yang sama. Kerajaan Indraprahasta ini adalah asal dari permaisuri Purbasora yang bernama Citra Kirana.
Menjadi raja Sunda dan Galuh
Setelah berhasil membunuh Purbasora dan menghancurkan Kerajaan Indraprahasta, Sanjaya naik takhta sebagai Raja Kerajaan Galuh yang kelima pada tahun 723 M. Sedangkan Sekar Kencana dijadikan pula sebagai permaisuri Kerajaan Galuh dengan gelar Teja Kancana Ayu Purnawangi. Sedangkan Sanjaya bergelar Sri Maharaja Harisdarma Bimaparakrama atau dikenal pula dengan gelar Prabu Maheswara Sarwajitastru Yupapurnajaya. Setelah dinobatkan sebagai raja di Kerajaan Galuh, Sanjaya secara langsung memerintah dua kerajaan, yakni Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Di sisi lain, Sanjaya juga mendapatkan hak takhta Kerajaan Kalingga dari ibunya. Sehingga Sanjaya kini menjadi raja dari tiga kerajaan, yakni Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga. Meskipun kini Sanjaya menjadi raja di Kerajaan Galuh setelah menyinngkirkan Purbasora, namun kondisi politik di Kerajaan Galuh belum dapat dikatakan kondusif.
Sebagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan di Kerajaan Galuh, maka disepakati bahwa Sanjaya tidak memerintah Kerajaan Galuh secara langsung. Sempakwaja Bhatara Danghyang Guru, kemudian mengangkat Premana Dikusuma anak dawi Wijayakusuma sekaligus cucu dari Purbasora. Setelah pengangkatan Premana Dikusuma, Sanjaya menempatkan anaknya, Rakryan Tamperan (Tamperan Barmawijaya sebagai duta (perwakilannya) di Kerajaan Galuh.
Mewariskan Tahta Sunda kepada Tamperan Barmawijaya
Penempatan Tamperan Barmawijaya (Rakryan Tamperan atau Rahyang Tamperan) ternyata menyebabkan kondisi politik Kerajaan Galuh kembali memanas. Oleh sebab itu, Sanjaya menarik Tamperan Barmawijaya menuju ke ibukota Kerajaan Sunda di Pakuan. Pada tahun 731 M, Sanjaya dipanggil oleh ayahnya, Sena yang kini berkuasa di Kerajaan Kalingga memerintah atas nama isterinya, Sanaha cucu dari Ratu Sima. Pada tahun 732 M, Sanjaya menggantikan Sena, untuk menjadi sebagai raja di Kalingga. Setelah mengantikan Sena di Kerajaan Kalingga, Sanjaya memberikan takhta Kerajaan Sunda kepada anaknya, Tamperan Barmawijaya (Rakryan Tamperan atau Rahyang Tamperan).
Di sisi lain, Sanjaya mendirikan Kerajaan Medang dan menjadi sebagai Raja yang pertama yang memerintah di Kerajaan Medang pada sekitar tahun 732-746. Sanjaya disebut nama yang lain, yakni Sanjaya dari Mataram. Dia bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Mendirikan Kerajaan Medang
Dalam prasasti Mantyasih yang dikeluarkan Maharaja Dyah Balitung tahun 907, nama Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya tertulis pada urutan pertama dari para raja yang pernah memerintah Kerajaan Medang.
Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tanggal 6 Oktober 732 yang berisi tentang pendirian sebuah lingga serta bangunan candi untuk memuja Siwa di atas sebuah bukit. Candi tersebut kini hanya tinggal puing-puing reruntuhannya saja, yang ditemukan di atas Gunung Wukir, dekat Kedu.
Prasasti Canggal juga mengisahkan bahwa, sebelum Sanjaya bertakhta sudah ada raja lain bernama Sanna yang memerintah Pulau Jawa dengan adil dan bijaksana. Setelah Sanna meninggal dunia karena gugur diserang musuh, keadaan menjadi kacau. Sanjaya putra Sannaha (saudara perempuan Sanna) kemudian tampil sebagai raja. Dengan gagah berani ia menaklukkan raja-raja lain di sekitarnya, sehingga Pulau Jawa kembali tentram.
Prasasti Canggal ternyata tidak menyebutkan nama kerajaan yang dipimpin Sanna dan Sanjaya. Sementara itu, prasasti Mantyasih menyebut Sanjaya sebagai raja pertama Kerajaan Medang yang terletak di Pohpitu. Adapun nama Sanna sama sekali tidak disebut dalam prasasti tersebut. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa Sanna bukanlah raja Medang. Dengan kata lain, Sanjaya memang mewarisi takhta Sanna namun mendirikan sebuah kerajaan baru yang berbeda dari sebelumnya. Kisah ini mirip dengan kejadian pada akhir abad ke-13, yaitu Raden Wijaya mewarisi takhta Kertanagara raja terakhir Singhasari, tetapi ia mendirikan sebuah kerajaan baru bernama Majapahit.
Pada zaman Kerajaan Medang terdapat suatu tradisi mencantumkan jabatan lama di samping gelar sebagai maharaja. Misalnya, raja yang mengeluarkan prasasti Mantyasih (907) adalah Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambhu. Itu artinya, jabatan lama Dyah Balitung sebelum menjadi raja Medang adalah sebagai kepala daerah Watukura.
Sementara itu, gelar Sanjaya sebagai raja adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Dapat diperkirakan ketika Sanna masih berkuasa, Sanjaya bertindak sebagai kepala daerah Mataram (daerah Yogyakarta sekarang). Disebutkan pula dalam prasasti Mantyasih bahwa Sanjaya adalah raja pertama yang bertakhta di Kerajaan Medang yang terletak di Pohpitu (‘’rahyangta rumuhun i Medang i Pohpitu’’). Dengan demikian, Pohpitu adalah ibu kota Kerajaan Medang yang dibangun oleh Sanjaya, tetapi di mana letaknya belum bisa dipastikan sampai saat ini.
Kapan tepatnya Kerajaan Medang berdiri tidak diketahui dengan pasti. Seorang keturunan Sanjaya bernama Daksottama memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa atau “kalender Sanjaya” dalam prasasti-prasastinya, antara lain prasasti Taji Gunung tahun 910, prasasti Timbangan Wungkal tahun 913, Prasasti Tulang Er tahun (914 M) dan prasasti Tihang tahun 914. Menurut analisis para sejarawan, tahun 1 Sanjaya bertepatan dengan tahun 716 Masehi dan besar kemungkinan itu adalah tahun di mana Sanjaya berhasil mendapatkan kembali takhta warisan Sanna. Nama Sanjaya juga dapat kita jumpai pula dalam Prasasti Pupus yang ditemukan di daerah Semarang pada tahun 822 (900 M). Dalam Prasasti Pupus ini disebutkan bahwa Sanjaya telah meninggal atau Rahyangta.
Hubungan dengan Rakai Panangkaran
Menurut prasasti Mantyasih, Sanjaya digantikan oleh Maharaja Rakai Panangkaran sebagai raja Medang berikutnya. Raja kedua ini mendirikan sebuah bangunan Buddha, yang kini dikenal sebagai Candi Kalasan, atas permohonan para guru raja Sailendra tahun 778. Berdasarkan berita tersebut, muncul beberapa teori tentang hubungan Sanjaya dengan Rakai Panangkaran.
Teori pertama dipelopori oleh van Naerssen menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya yang beragama Hindu. Ia dikalahkan oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha. Jadi, pembangunan Candi Kalasan ialah atas perintah raja Sailendra terhadap Rakai Panangkaran yang menjadi bawahannya.
Teori kedua dipelopori oleh Porbatjaraka yang menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya, dan mereka berdua merupakan anggota Wangsa Sailendra. Dengan kata lain, Wangsa Sanjaya tidak pernah ada karena tidak pernah tertulis dalam prasasti apa pun. Menurut teori ini, Rakai Panangkaran pindah agama menjadi penganut Buddha atas perintah Sanjaya sebelum meninggal. Jadi, yang dimaksud dengan istilah “para guru raja Sailendra” dalam prasasti Kalasan tidak lain adalah para guru Rakai Panangkaran sendiri.
Teori ketiga dipelopori oleh Slamet Muljana bertentangan dengan kedua teori di atas. Menurutnya, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya, melainkan anggota Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Kerajaan Medang dan mengalahkan Wangsa Sanjaya. Teori ini didasarkan pada daftar para raja dalam prasasti Mantyasih di mana hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu, sedangkan para penggantinya tiba-tiba begelar Maharaja. Selain itu, Rakai Panangkaran tidak mungkin berstatus sebagai raja bawahan, karena ia dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa Sailendra) dalam prasasti Kalasan. Alasan lainnya ialah, dalam prasasti Mantyasih Rakai Panangkaran bergelar maharaja, sehingga tidak mungkin kalau ia hanya seorang bawahan.
Jadi, menurut teori pertama dan kedua, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya. Sedangkan menurut teori ketiga, Rakai Panangkaran adalah musuh yang berhasil mengalahkan Sanjaya.
Sementara itu menurut teori pertama, Rakai Panangkaran adalah bawahan raja Sailendra. Sedangkan menurut teori kedua dan ketiga, Rakai Panangkaran adalah raja Sailendra itu sendiri.
Akan tetapi, dengan ditemukannya prasasti Wanua Tengah III, maka misteri hubungan antara Rakai Panangkaran dengan Sanjaya telah menemukan titik terang. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung tahun 908 Masehi juga menyebutkan daftar raja-raja Kerajaan Medang seperti prasasti Mantyasih tahun 907. Dalam prasasti Wanua Tengah III disebutkan bahwa Rakai Panangkaran adalah anak dari Rahyangta i Hara, sedangkan Rahyangta i Hara adalah adik dari Rahyangta i Medang.
Jika dalam prasasti Mantyasih disebutkan bahwa Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang, maka dapat diduga bahwa Rahyangta i Medang dalam prasasti Wanua Tengah III tidak lain adalah Sanjaya itu sendiri. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Rakai Panangkaran merupakan keponakan dari Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Prasasti Wanua Tengah III juga menyebutkan awal mula Rakai Panangkaran naik takhta, yaitu pada 7 Oktober 746. Jika demikian, dapat disimpulkan pula bahwa pada tahun 746 itulah pemerintahan Sanjaya berakhir.
Sanjaya Raja Tanah Jawa
- Sanjaya bergelar Sri Maharaja Harisdarma Bimaparakrama sebagai raja kedua yang memerintahkan Kerajaan Sunda pada tahun 723 - 732 M.
Gelar kebangsawanan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Tarusbawa |
Raja Sunda ke-2 723–732 |
Diteruskan oleh: Tamperan Barmawijaya |
- Sanjaya bergelar Prabu Maheswara Sarwajitastru Yupapurnajaya sebagai raja kelima yang memerintahkan Kerajaan Galuh pada tahun 747 - (?) M.
Gelar kebangsawanan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Purbasora |
Raja Galuh ke-5 723–732 |
Diteruskan oleh: Premana Dikusuma |
- Sanjaya sebagai raja kelima yang memerintahkan Kerajaan Kalingga pada tahun 732 - (?) M.
Gelar kebangsawanan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Sena |
Raja Kalingga ke(?) 732–(?) |
Diteruskan oleh: ??? |
- Sanjaya bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya sebagai pendiri Kerajaan Medang yang memerintah pada tahun 732 - 746 M.
Gelar kebangsawanan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: - |
Raja Medang ke-1 732–746 |
Diteruskan oleh: Rakai Panangkaran |
Referensi
- Ayatrohaedi. 2005. SUNDAKALA Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Bandung: Pustaka Jaya
- Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
- Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
- Supratikno Rahardjo. 2002. ‘’Peradaban Jawa: dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir’’. Depok: Komunitas Bambu.
- Seri Biografi Tokoh - Abhesiva.id https://abhiseva.id/rahyang-sanjaya-penerus-takhta-kerajaan-sunda/
Komentar
Posting Komentar