Kerajaan Medang ( Ma - Tung ) ( 732 - 1016 ) | |
---|---|
Ibukota | Mataram (masa Sanjaya) Mamratipura (masa Rakai Pikatan) Poh Pitu (masa Dyah Balitung) Tamwlang (masa Mpu Sindok) Watugaluh (masa Mpu Sindok) Wwatan (masa Dharmawangsa) |
Bahasa | Sanskerta, Kawi, Melayu Kuno |
Agama | Hindu & Buddha |
Bentuk Pemerintahan | Kerajaan |
Peristiwa Penting | - 732 M, Prasasti Canggal: Śrī Sañjaya naik tahta - 825 M, Prasasti Kayumwungan: Borobudur selesai dibangun - 856 M, Prasasti Nalanda: Dinasti Sailendra berkuasa di Sumatra - 929 M, Prasasti Turryan: Ibukota pindah ke Jawa Timur - 1016 M, Prasasti Pucangan: Mahapralaya; masa kejatuhan |
Mata Uang | Masa dan Tahil (koin emas dan perak lokal) |
Di Dahului Oleh | Di Gantikan Oleh |
Keling | Panjalu |
Daftar Raja-raja Medang
Berdasarkan Komparasi Data dari Prasasti Canggal, Mantyasih, Wanua Tengah III, dan Pucangan. Maka, diperoleh urutan daftar Raja-raja Medang sebagai berikut :
1. Sanjaya ( 732 - 746 )
Bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Berbeda dengan gelar para penggantinya ia menggunakan gelar Sang Ratu, itu artinya posisinya lebih tinggi dari para Maharaja.
Setelah dicek menggunakan naskah Carita Parahyangan, akhirnya terungkap bahwa gelar Sang Ratu yang ia sandang tersebut karena ia mewarisi dan menjabat sebagai raja di tiga kerajaan yaitu Sunda, Galuh, dan Medang.
Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tanggal 6 Oktober 732 yang berisi tentang pendirian sebuah lingga serta bangunan candi untuk memuja Siwa di atas sebuah bukit. Candi tersebut kini hanya tinggal puing-puing reruntuhannya saja, yang ditemukan di atas Gunung Wukir, dekat Kedu.
2. Dyah Pancapana ( 746 - 784 )
Srī Mahārāja Rakai Pānangkaran Dyaḥ Pañcapana.
Dalam prasasti Wanua Tengah III disebutkan bahwa Rakai Panangkaran adalah anak dari Rahyangta i Hara, sedangkan Rahyangta i Hara adalah adik dari Rahyangta i Medang.
Jika dalam prasasti Mantyasih disebutkan bahwa Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang, maka dapat dipastikan bahwa Rahyangta i Medang dalam prasasti Wanua Tengah III, adalah Sanjaya itu sendiri.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Rakai Panangkaran adalah keponakan dari Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Dalam prasasti Kalasan yang diterbitkan Rakai Panangkaran pada tahun 778. Prasasti ini merupakan piagam peresmian pembangunan sebuah candi Buddha bernama Tarabhavanam (Buana Tara) untuk memuja Dewi Tara. Pembangunan ini atas permohonan para guru raja Sailendra.
Dalam prasasti itu Rakai Panangkaran dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka atau “permata Wangsa Sailendra”. Candi yang didirikan oleh Rakai Panangkaran tersebut sekarang dikenal dengan sebutan Candi Kalasan.
Selain candi Kalasan, beberapa candi yang diperkirakan dibangun atas prakarsa Rakai Panangkaran antara lain Candi Sari yang dikaitkan sebagai wihara pendamping Candi Kalasan, Candi Lumbung, Prasada Vajrasana Manjusrigrha (Candi Sewu), dan Abhayagiri Vihara (kompleks Ratu Boko).[1]
Prasasti Abhayagiri Wihara yang berangka tahun 792 M menyebutkan tokoh bernama Tejahpurnapane Panamkarana (Rakai Panangkaran) mengundurkan diri sebagai Raja karena menginginkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan dengan mendirikan wihara yang bernama Abhayagiri Wihara, yang dikaitkan dengan kompleks Ratu Boko. Diperkirakan Raja Panangkaran telah wafat sebelum Candi Sewu dan Abhayagirivihara rampung, sehingga ia tidak sempat menyaksikan beberapa karyanya (Candi Sewu).[1]
3. Rakai Panaraban ( 784 - 803 )
Bergelar Srī Mahārāja Rakai Pānunggalan. Berkuasa pada 6 Maret 784 - 3 Maret 803 M.
Menurut Naskah Wangsakerta, ayahnya bernama Rakai Panangkaran dan ibunya bernama Satyadarmika.
Selain itu, Rakai Panangkaran juga memiliki dua Putra bernama Rakai Warak dan Rakai Garung.
4. Dyah Manara ( 803 - 827 )
Bergelar Srī Mahārāja Rakai Warak. Berkuasa pada 3 Maret 803 - 26 Juli 827 M.
5. Dyah Gula ( 827 - 829 )
Berkuasa pada 26 Juli 827 - 14 Februari 829.
Pada namanya tidak ada nama daerah lungguh (ditandai dengan gelar Rakai); yang menimbulkan dugaan bahwa ia mungkin naik tahta secara tidak wajar.[9][4][10]
6. Rakai Garung ( 829 - 847 )
Bergelar Srī Mahārāja Rakai Garung. Berkuasa pada 14 Februari 829 - 6 Maret 847.
Prasasti tertua yang dikeluarkan Rakai Garung ialah Prasasti Pengging (819).[4] Dalam prasasti ini, namanya disebut sebagai Rakaryan i Garung, dan masih belum bergelar sri maharaja.[4]
Menurut prasasti Wanua Tengah III, ia adalah anak dari Sang lumah i Tuk, artinya seseorang (bangsawan/raja) yang dimakamkan di Tuk.[5] Disebutkan bahwa Rakai Garung mengembalikan status sima (desa perdikan) Wanua Tengah, yang pernah dicabut oleh raja sebelumnya.[2][5]
Sedangkan, menurut Naskah Wangsakerta disebutkan bahwa Rakai Garung adalah Putra Rakai Panunggalan.
Jika Catatan itu benar, maka dapat disimpulkan kalau Raja yang dimakamkan di Tuk adalah Rakai Panunggalan.
7. Dyah Saladu ( 847 - 855 )
Bergelar Srī Mahārāja Rakai Pikatan. Berkuasa pada 6 Maret 847–27 April 855 M.
Dalam Prasasti Wanua Tengah III yang diterbitkan oleh Raja Dyah Balitung, disebutkan nama aslinya Rakai Pikatan adalah Dyah Saladu.[2]
Menurut prasasti Wantil, Rakai Pikatan membangun ibu kota baru di desa Mamrati sehingga ia pun dijuluki sebagai Rakai Mamrati. Istana baru itu bernama Mamratipura, sebagai pengganti ibu kota yang lama, yaitu Mataram.
Prasasti Wantil juga menyebutkan bahwa Rakai Mamrati turun takhta dan menjadi brahmana bergelar Rake Mamrati Sang Jatiningrat pada tahun 856.
Prasasti Wantil juga menyinggung pernikahan Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan dengan seorang putri beragama lain. Para sejarawan sepakat bahwa putri itu ialah Pramodawardhani dari Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana, sementara Rakai Pikatan sendiri memeluk agama Hindu Siwa.
Pramodawardhani adalah putri Samaratungga yang namanya tercatat dalam prasasti Kayumwungan tahun 824.
Pramodawardhani bukanlah satu-satunya istri Rakai Pikatan. Berdasarkan prasasti Telahap diketahui istri Rakai Pikatan yang lain bernama Rakai Watan Mpu Tamer. Kiranya saat itu gelar mpu belum identik dengan kaum laki-laki.
Selir bernama Rakai Watan Mpu Tamer ini merupakan nenek dari istri Dyah Balitung, yaitu raja yang mengeluarkan prasasti Mantyasih (907).
8. Dyah Lokapala ( 855 - 885 )
Bergelar Sri Maharaja Rake Kayuwangi Sri Sajjanotsawatungga. Berkuasa pada 27 April 855 - 17 Februari 885 M.
Setelah ditemukannya Prasasti Wantil atau disebut juga Prasasti Siwagrha yang diterbitkan pada tanggal 12 November 856 oleh Śrī Mahārāja Rake Kayuwangi Dyaḥ Lokapāla Śrī Sajjanotsawatuṅga. Misteri sejarah gelap menjadi terang, ada banyak hal yang terungkap didalamnya yaitu :
1. Pemindahan Ibukota dari Mataram ke Mamrati dan membangun istana baru bernama Mamratipura.
2. Rakai Pikatan turun takhta dan menjadi brahmana bergelar Rake Mamrati Sang Jatiningrat.
3. Pernikahan Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan dengan seorang putri beragama lain. Para sejarawan sepakat bahwa putri itu ialah Pramodawardhani dari Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana, sementara Rakai Pikatan sendiri memeluk agama Hindu Siwa.
4. Pendirian bangunan suci Siwagrha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa. Berdasarkan ciri-ciri yang digambarkan dalam prasasti tersebut, Candi Siwa identik dengan salah satu candi utama pada komplek Candi Prambanan.
Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi, Diketahui pernah mengeluarkan beberapa kebijakan, diantaranya :
- Menjadikan desa Wanua Tengah sebagai daerah bebas pajak. (Prasasti Wanua Tengah I, 863 M)
- Memberikan anugerah berupa tanah di daerah Tunahan dan Mamali. kepada Pu Rakap. (Prasasti Tunahan, 872 M)
- Memberikan anugerah sebuah sawah seluas 4 tampah di Humanding, wilayah Sirikan. untuk dijadikan tanah perdikan bagi bangunan suci di Gunung Hyang.(Prasasti Humanding, 875 M)
- Memberikan anugerah kepada Rakarayan Sirikan Pu Rakap, berupa peresmian batas tanah di Mamali, sebagai daerah perdikan untuk biara di Haliwangbang. (Prasasti Haliwangbang, 877 M)
- Mendirikan bangunan suci di Kwak. (Prasasti Kwak I, 879 M)
- Memberikan anugerah kepada Rakarayan Sirikan,berupa peresmian tanah sawah di Taragal serta tanah rumput di desa Ruhutan, wilayah Trab dan tanah pekarangan di Kumamĕt. Sawah itu dijadikan daerah bebas pajak, bagi bangunan suci di Gunung Hyang yang terletak di daerah Mamali dan Haliwangbang. (Prasasti Taragal, 880 M)
- Mempersembahkan barang-barang yang terbuat dari emas kepada Pemuka agama di Salingsingan. (Prasasti Salingsingan, 880 M)
- Meresmikan batas wilayah kerajaan. (Prasasti Pendem, 881 M)
- Memerintahkan Rakai Halu Pu Catura untuk membuat batas pemakaman di Pastika dan di Ramwi. (Prasasti Ramwi, 882 M)
Peristiwa Wuatan Tija
Pada tanggal 10 Desember 880 M, Rakai Kayuwangi memberikan anugerah kepada para pemuka desa Wuatan Tija karena mereka telah berjasa menolong putranya yang bernama Dyah Bhumijaya.
Dikisahkan, Dyah Bhumijaya dan ibunya yang bernama Rakryan Manak diculik oleh Rakryan Landheyan, yang tidak lain adalah saudara Rakryan Manak sendiri. Ibu dan anak tersebut berhasil lolos saat berada di desa Tangar. Namun kemudian Rakryan Manak memilih bunuh diri ketika berada di desa Taas.
Alasan Rakryan Manak bunuh diri tidak diketahui dengan pasti. Sementara itu putranya, yaitu Dyah Bhumijaya ditemukan para pemuka desa Wuatan Tija dan diantarkan kepada Maharaja Rakai Kayuwangi.
Setelah peristiwa penculikan tersebut, Rakryan Landheyan menjadi buronan kerajaan. Mungkin ia meninggal di tengah hutan karena menderita, atau dibunuh oleh tentara kerajaan.
Tokoh Rakryan Landheyan ini memiliki putra bernama Dyah Wawa, yang kelak akan merebut tahta Kerajaan Medang.
9. Dyah Tagwas ( 885 )
Bergelar Sri Maharaja Dyah Tagwas Jayakirtiwardhana. Berkuasa pada 17 Februari 885 - 25 Agustus 885 M.
Selain dikenal dalam Prasasti Wanua Tengah III, namanya dikenal dengan gelar Sri Maharaja Dyah Tagwas Jayakirtiwardhana dalam Prasasti Er Hangat, yang ditemukan di daerah Banjarnegara, Jawa Tengah.[7] Prasasti Er Hangat ditemukan dalam keadaan tidak lengkap, lempeng pertama yang mengandung angka tahun telah hilang.[6] Tanggal prasasti ini tidak bisa ditentukan dengan pasti, namun diperkirakan antara 885-888 M.[6]
Pada nama Dyah Tagwas tidak ada nama daerah lungguh (ditandai dengan gelar Rakai); mungkin karena ketika naik tahta/merebut kekuasaan belum pernah menjabat baik di ibukota ataupun di daerah (watak), atau karena belum dewasa.[8][9][10]
Selama menjabat sebagai raja, Beliau pernah Memberikan sedekah kepada beberapa orang. termasuk Guru Hyang di Kelasa. (Prasasti Er Hangat).
10. Dyah Dewendra ( 885 - 887 )
Bergelar Sri Maharaja Rake Panumwangan Dyah Dewendra. Berkuasa pada 25 Agustus 885 - 18 Januari 887 M.
Namanya disebutkan dalam Prasasti Wanua Tengah III yang memuat daftar raja Medang yang lebih lengkap, termasuk raja-raja yang memerintah dalam waktu yang singkat.[6][7]
Pada tahun 890 M, Dyah Dewendra namun dengan nama gelar Rake Limus mengeluarkan Prasasti Poh Dulur, yang ditemukan di daerah Magelang, Jawa Tengah.[11]
Prasasti Poh Dulur merupakan tinulad (salinan) dan redaksinya agak kacau, sehingga ada kemungkinan salah dalam penyalinan.[7]
Diperkirakan saat itu ia telah digulingkan, dan berupaya untuk memperkokoh kekuasaannya namun tidak berhasil.[9]
11. Dyah Bhadra ( 887 )
Bergelar Sri Maharaja Rake Gurunwangi Dyah Bhadra. Berkuasa pada 18 Januari 887-14 Februari 887 M.
Dalam Prasasti Wanua Tengah III (908 M), ia memerintah antara 18 Januari 887 s.d. 14 Februari 887 M.[3][4] Sesudahnya, terjadi masa kekosongan pemerintahan (interregnum) selama 7 tahun.[5] Kemudian, pada 21 November 894 M Rakai Watuhumalang naik tahta.[5]
Selain itu, pada prasasti-prasasti pendek di Candi Plaosan Lor ditemukan tokoh-tokoh bergelar Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan Rakai Gurunwangi Dyah Ranu sebagai penyumbang pada pembangunan bangunan suci itu.[7][11][12]
Sedangkan menurut Naskah Wangsakerta disebutkan bahwa Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan Rakai Gurunwangi Dyah Ranu adalah sepasang Suami Istri dan masih Keluarga besar Rakai Pikatan.
Jadi, dapat dipahami bahwa Pengangkatan Putra bungsu bernama Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala menjadi Raja rupanya menjadi awal konflik perebutan tahta di Medang.
12. Dyah Jbang ( 894 - 898 )
Bergelar Sri Maharaja Rakai Watuhumalang Dyah Jbang. Berkuasa pada 21 November 894 - 10 Mei 898 M.
Menurut analisis para sejarawan, misalnya Poerbatjaraka dan Boechari, tokoh bernama Dyah Balitung naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya. Jadi, kemungkinan besar Dyah Balitung adalah menantu Rakai Watuhumalang.
Hubungan antara Rakai Watuhumalang dengan raja sebelumnya, yaitu Rakai Kayuwangi juga belum jelas. Nama putra mahkota zaman Rakai Kayuwangi adalah Mahamantri Hino Mpu Aku, yang kemungkinan besar berbeda dengan Rakai Watuhumalang.
Ditemukan pula prasasti atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi (prasasti Munggu Antan, 887) dan atas nama Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra (Prasasti Poh Dulur, 890). Padahal keduanya tidak terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Mungkin, pada akhir pemerintahan Rakai Kayuwangi telah terjadi perpecahan di lingkungan Kerajaan Medang.
Sementara itu, menurut prasasti Telahap, permaisuri Dyah Balitung merupakan cucu dari Rakai Watan Mpu Tamer, yaitu istri raja yang dimakamkan di Pastika. Menurut analisis Pusponegoro dan Notosutanto, raja yang dimakamkan di Pastika adalah Rakai Pikatan, ayah dari Rakai Kayuwangi.
Apabila Dyah Balitung benar-benar menantu Rakai Watuhumalang, berarti Rakai Watuhumalang adalah putra (atau mungkin menantu) Rakai Pikatan yang lahir dari selir bernama Rakai Watan Mpu Tamer. Sedangkan Rakai Kayuwangi lahir dari permaisuri bernama Pramodawardhani. Dengan kata lain, Rakai Watuhumalang adalah saudara tiri (atau mungkin ipar) Rakai Kayuwangi, raja sebelumnya.
13. Dyah Balitung ( 898 - 910 )
Bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambhu.
Atau
Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Iswarakesawotsawattungga Rudramurti (Prasasti Wanua Tengah III, 908 M)
Pada masa pemerintahannya, ibukota Kerajaan Medang dipindahkan dari Mamrati ke daerah Poh Pitu. Dan Istananya diberi nama Yawapura.
Selama menjabat sebagai raja, Dyah Balitung banyak membuat kebijakan, diantaranya :
- Meresmikan desa-desa di wilayah Ayam Tĕas sebagai daerah perdikan dan mengatur jumlah pedagang yang diperbolehkan memasuki desa-desa tersebut serta membebaskan desa-desa itu dari kehadiran paraPemungut Pajak Daerah. (Prasasti Ayam Teas I, 900 M)
- Memerintahkan Rakryān Watu Tihang Pu Sanggrāma dhurandhara untuk meresmikan tanah dan sawah di wilayah Taji menjadi daerah perdikan untuk bangunan suci “kuil Dewasabhā“. (Prasasti Taji, 901 M)
- Melantik Mpu Daksa sebagai Rakryan Mapatih. (Prasasti Watukura, 27 Juli 902).
- Memerintahkan Rakai Welar Mpu Sudarsana untuk membangun komplek penyeberangan ‘Paparahuan’ di tepian Sungai Bengawan Solo. (Prasasti Telang, 11 Januari 904)
- Memberikan anugerah berupa pengurangan pajak yang ditanggung warga desa Umārita kepada majelis desa Rumwiga. (Prasasti Rumwiga I, 904 M)
- Membebaskan pajak pada warga desa Poh yang telah merawat bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silungkung. (Prasasti Poh, 17 Juli 905)
- Memberikan anugerah berupa desa Kubu-Kubu pada Rakryan Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan yang berhasil menaklukkan daerah Bantan. Beberapa sejarawan menafsirkan Bantan sebagai nama lain dari Bali. Istilah Bantan artinya “korban”, sedangkan Bali artinya “persembahan”. (Prasasti Kubu-Kubu, 17 Oktober 905)
- Memberikan anugerah kepada lima orang patih bawahan yang berjasa dalam menjaga keamanan saat pernikahan Dyah Balitung. (Prasasti Mantyasih, 11 April 907 M)
- Memberikan desa Rukam sebagai hadiah untuk neneknya yang bernama Rakryan Sanjiwana dengan tugas merawat bangunan suci di Limwung. (Prasasti Rukam)
14. Mpu Daksa ( 910 - 919 )
Bergelar Sri Maharaja Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya Uttunggawijaya.
Mpu Daksa adalah putra Rakai Watuhumalang. (Prasasti Timbangan Wungkal, 913 M) Beliau naik tahta, menggantikan Dyah Balitung.
Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh Mpu Daksa, antara lain :
- Memberikan anugerah kepada Rakai Kanuruhan berupa desa di daerah Limus dan Tampuran sebagai daerahperdikan untuk pembangunan kuil di Sugih Manek. (Prasasti Sugih Manek, 915 M)
- Memberikan anugerah kepada pemuka agama di Barāhāśrama, wilayah Serayu. Berupa pembebasan desa Poh Galuh dan Er Kuwing dari pajak. (Prasasti Er Kuwing)
15. Dyah Tulodong ( 919 - 924 )
Bergelar Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjana Sanmattanuragatunggadewa.
Dyah Tulodong adalah putra dari seseorang yang dimakamkan di Turu Mangambil.
Beliau Naik tahta menggantikan mertuanya setelah menikahi Rakyan Layang, putri dari Mpu Daksa. (Prasasti Ritihang)
Selama menjabat sebagai raja Dyah Tulodong pernah membuat kebijakan, diantaranya :
- Melantik Mpu Ketuwijaya yang bergelar Sri Ketudhara Manimantaprabha Prabhusakti, sebagai Rakryan Mapatih Hino. Dan Mpu Sindok sebagai Rakryan Halu. (Prasasti Lintakan, 12 Juli 919 M)
- Menganugerahkan desa Culangi kepada 12 putra Bhagawanta Bhari yang telah berjasa membangun bendungan pencegah banjir. (Prasasti Harinjing, 19 September 921 M)
16. Dyah wawa ( 924 - 929 )
Bergelar Sri Maharaja Rakai Pangkaja/Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamotungga.
Dyah Wawa adalah putra dari Rakryan Landheyan. (Prasasti Wulakan, 14 Februari 928 M)
Berikut adalah kebijakan yang pernah dilakukan oleh raja Dyah Wawa :
- Membebaskan desa Culangi sebagai daerah bebas pajak. (Prasasti Culangi, 7 Maret 927 M)
- Meresmikan daerah perdikan di Palĕbuhan. (Prasasti Palebuhan, 927 M)
17. Mpu Sindok ( 929 - 949 )
Bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isyana Wikrama Dharmattunggadewa.
Mpu Sindok adalah menantu Dyah Wawa. Beliau merupakan pendiri Dinasti baru bernama Dinasti Isyana.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Mpu Sindok dibantu oleh permaisurinya yang bernama Sri Wardhani Mpu Kbin.
Beberapa kebijakan yang pernah dikeluarkan oleh Mpu Sindok, antara lain :
- Menjadikan desa Linggasutan, Cunggrang, Sumbut, Anjluka, dan
Kamban sebagai daerah bebas pajak.
- Menerima permohonan Dang Atu Mpu Sahitya, yang menginginkan agar tanah di sebelah barat sungai desa Turyan dijadikan bangunan suci. (Prasasti Turyan, 929 M)
- Menerima permohonan Rakai Hujung Mpu Madhura yang menginginkan agar sawah di desa Gulung-Gulung dijadikan sebagai daerah bebas pajak. (Prasasti Gulung-Gulung, 929 M)
- Menerima permohonan Rakai Hujung Mpu Madhura yang menginginkan agar desa Jru-Jru dijadikan sebagai daerah bebas pajak. (Prasasti Jru-Jru, 930 M)
- Memberikan anugerah kepada penduduk desa Waharu yang dipimpin oleh Buyut Manggali. (Prasasti Waharu, 931 M)
- Meresmikan bendungan di Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya yang diwakili oleh Rakryan Mangibil (selir Mpu Sindok). (Prasasti Wulig, 935 M)
- Melarang rakyatnya untuk menangkap ikan di bendungan pada siang hari. Larangan itu ada kaitannya dengan pelestarian Sumber Daya Alam.
- Memerintahkan penggubahan kitab Budha Mahayana. Hasil gubahan tersebut berupa kitab Sang Hyang Kamahayanikan.
18. Sri Isyana Tunggawijaya ( 949 - )
Sri Isyana adalah Putri Mahkota dari Mpu Sindok dengan Mpu Kbin. Beliau naik tahta menggantikan ayahnya.
Pada masa pemerintahannya, Ia pernah menganugerahkan desa Bungur Lor dan Asana kepada para pendeta Buddha di Bodhinimba. (Prasasti Gedangan, 950 M)
Sri Isyana Tunggawijaya menikah dengan Lokapala. Dari hasil pernikahannya lahirlah seorang Putra Mahkota yang bernama Makutawangsa Wardhana.
19. Makutawangsa Wardhana ( - 991 )
Raja Makutawangsa Wardhana dikenal dengan julukan Matahari Dinasti Isyana. Ia dikaruniai dua orang anak, antara lain :
1. Dharmawangsa Teguh, yang kelak naik tahta di Medang pada tahun (991)
2. Mahendradatta, Ia bergelar Gunaprya Dharma Patni yang kawin dengan Udayana (Raja Bali). Yang kemudian dikaruniai putra bernama Airlangga (Raja Kahuripan).
20. Dharmawangsa Teguh ( 991 - 1016 )
Bergelar Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramattunggadewa.
Pada masa pemerintahannya, ia pernah memerintahkan untuk menerjemahkan beberapa bagian kitab Mahabharata ke dalam bahasa Kawi. Dan untuk mengatur ketertiban masyarakat, disusunlah kitab hukum yang dinamakan Purwadigama atau Siswasasana.
Selain itu, ia juga berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Usaha itu dilaksanakan dengan cara meningkatkan sektor pertanian dan perdagangan. Akan tetapi, usaha untuk meningkatkan sektor perdagangan menjadi sulit karena perdagangan di kawasan perairan Jawa dan Sumatra masih dikuasai oleh Sriwijaya.
Dalam rangka mematahkan pengaruh Sriwijaya dan untuk mewujudkan cita-citanya yang ingin menguasai pelayaran Nusantara. Maka dari itu, ia berusaha untuk memperluas daerah kekuasannya dengan mengadakan sejumlah penaklukkan, termasuk Bali dan mendirikan koloni di Kalimantan Barat.
Kemudian pada tahun 1003 M, Dharmawangsa Teguh mengirimkan pasukannya untuk merebut pusat perdagangan di Selat Malaka dari kekuasaan Sriwijaya. Akan tetapi, serangan itu tidak berhasil. Bahkan, Sriwijaya membalas melalui serangan kerajaan Wurawuri (bawahan Medang sendiri). Akibat serangan itu, Medang menjadi terpecah belah dan mengalami kehancuran.
Dalam peristiwa yang disebut Pralaya Medang itu, Dharmawangsa Teguh gugur. Pralaya berarti "runtuh atau mati". Hal ini menandakan bahwa kerajaan Medang telah hancur dan tiada lagi.
Bukti - Bukti Peninggalan :
* Prasasti Canggal ( 732 M )
* Prasasti Wantil ( 856 M )
* Prasasti Wukiran ( 856 M )
* Prasasti Wuatan Tija
* Prasasti Mantyasih
* Prasasti Wanua Tengah III
Referensi :
- Ali Sastraamidjaya, Data Kala Sejarah Kerajaan-kerajaan di Jawa Barat.
- Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990.Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
- Purwadi. 2007.Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.
- Slamet Muljana. 2005.Menuju Puncak Kemegahan(terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
- Slamet Muljana. 1979.Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
- Slamet Muljana. 2006.Sriwijaya(terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
- Verkedell, Prasasti Nusantara.
Pranala :
- https://id.m.wikipedia.org/wiki/Medang
Komentar
Posting Komentar